Friday, April 4, 2008

So the Business World Change Agents...

Dunia Usaha Jadi Agen Perubahan

Oleh Sri Hartati Samhadi

Ada satu penyakit yang sudah lama dikeluhkan menjangkiti kalangan dunia usaha kita. Mental jago kandang dan merasa kalah sebelum berperang. Mental seperti itu yang membuat kinerja ekspor Indonesia masih sulit mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.

Seorang pejabat di Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) menuturkan betapa sulitnya mengajak para pengusaha Indonesia untuk ikut pameran di China. Padahal, semua biaya gratis dan si pengusaha hanya diminta menanggung biaya tiketnya sendiri.

Rupanya, para pengusaha ini takut dan sudah merasa kalah sebelum berperang karena telanjur memercayai mitos bahwa China unggul dalam segalanya. Mereka selama ini melihat China berhasil menerobos pasar-pasar tersulit dunia dan membanjiri pasar-pasar tersebut dengan berbagai produk pada harga dan kualitas yang sangat bersaing.

Di pasar dalam negeri sendiri saja, produk-produk Indonesia ini sudah babak belur dalam persaingan dengan produk-produk China, baik yang masuk secara resmi ataupun selundupan. Jadi, bagaimana mereka bisa bersaing di pasar regional atau global yang lebih terbuka? Apalagi bersaing di pasar China.

Bagaimana pula tidak grogi berhadapan dengan China, jika di produk-produk yang jelas-jelas Indonesia punya keunggulan komparatif, kita juga dilibas oleh China, termasuk di kandang kita sendiri? Sebut contoh, produk mebel, termasuk rotan. Ironisnya, industri milik China itu ditopang dengan bahan baku impor atau selundupan dari Indonesia.

Mental ciut itu membuat para pengusaha Indonesia sampai terkaget-kaget sendiri ketika dalam pameran tersebut mereka mendapatkan order dan barang mereka ternyata laku atau diminati. Tidak sedikit pasar kita di luar negeri selama ini tercipta karena ”kecelakaan” seperti ini atau karena buyers asing yang lebih agresif berburu ke sini, dan bukan karena kegigihan pengusaha kita berburu pasar di arena global.

Namun, tidak berarti tidak ada pemain tangguh kita di tingkat global. Banyak perusahaan Indonesia dengan industri skala kecil yang sifatnya rumahan, seperti kerajinan tangan, sudah berhasil menerobos berbagai pasar dunia yang selama ini tidak terbayangkan, seperti Jepang, Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Yang patut diacungi jempol, pengusaha-pengusaha seperti ini biasanya tak pernah gembar-gembor dan tidak pula mengemis berbagai macam fasilitas dari pemerintah untuk bisa menembus pasar yang menggiurkan di luar negeri.

Tidak sedikit yang sukses menerobos pasar-pasar yang selama ini dikuasai oleh produk-produk China. Bahkan, mereka berhasil menerobos pasar negeri Tirai Bambu itu. Salah satu contohnya, yang dilakukan oleh seorang penemu sejenis teh untuk obat diabetes dari Medan. Dia sukses dan laris manis menjual obat di negeri sinshe itu.

Kita perlu lebih banyak pendobrak mental-mental penakut seperti ini. Di negara-negara tetangga kita mental seperti ini sudah lama terkikis sehingga mereka lebih mampu unjuk gigi di pasar global. Contohnya, Thailand yang sukses masuk ke China hanya dengan durian. Setiap bulan, dari satu komoditas ini saja, devisa yang diraup tak kurang dari 5 juta dollar AS. Padahal, kalau dipikir-pikir, durian kita tidak kalah enak dan manis dibandingkan dengan durian montong Thailand yang terkenal itu.

Karena tak mampu membaca kebutuhan pasar, tak memiliki kepercayaan diri dan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengembangkan potensi dan brand image sendiri, banyak produk yang berakar di sini akhirnya justru dipatenkan oleh negara lain. Contohnya batik oleh Malaysia, tempe oleh Jepang, dan jamu oleh China.

Macan kertas

Menurut seorang panelis, kita selama ini selalu bersembunyi di balik dalih cost atau ekonomi biaya tinggi, atas ketidakmampuan kita bersaing di pasar luar negeri. Padahal, keunggulan bersaing di pasar tidak selamanya hanya ditentukan oleh daya saing dalam menekan biaya.

Banyak negara atau perusahaan besar dunia yang mampu menguasai pasar karena citra kuat produk yang dibangunnya, kendati dari sisi biaya produksi ia sangat tak kompetitif. Contohnya, Swiss dengan produk sepatunya. Kita tidak mungkin terus berkutat membangun citra kita dan produk-produk kita sebagai basis produksi murah atau produk- produk murah berkualitas rendah, sementara di sekitar kita bermunculan pesaing-pesaing baru yang mampu menawarkan keunggulan serupa dan bahkan lebih kompetitif.

Dunia usaha, dengan besarnya skala aset yang dikuasai dan banyaknya tenaga kerja yang diserap, serta luasnya pengaruh dan jangkauan sepak terjang operasionalnya, memiliki peran besar untuk bisa membuat perubahan dalam kultur budaya suatu negara, dalam hal ini kultur budaya unggul. Di banyak negara, kultur bisnis ikut membentuk budaya masyarakatnya dan juga sistem secara keseluruhan menjadi lebih kompetitif, tahan banting dan mampu mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi.

Di Indonesia pertumbuhan pesat dunia usaha yang terjadi sejak Pakto (Paket Oktober) 1988, membuat swasta tumbuh menjadi lokomotif perekonomian dan melahirkan pemain-pemain besar, yang beberapa di antaranya kemudian tumbuh menggurita dengan dukungan perlakuan istimewa dari rezim berkuasa. Ironisnya, mereka pula yang menyeret perekonomian ke dalam jurang keterpurukan pada krisis finansial tahun 1998 karena fondasi bisnis yang mereka bangun selama ini tak lebih hanya gelembung-gelembung sabun.

Krisis Asia dan globalisasi, menurut analis seperti Paul Temporal dan Harry Alder (Corporate Charisma: Key to Business Competitiveness in The New Asia) telah membuka mata dunia mengenai betapa banyak perusahaan besar di Asia (termasuk Indonesia) yang dianggap sukses selama ini, ternyata tak lebih hanya macan-macan kertas.

Mereka bisa sukses karena modal kedekatan dengan penguasa dan kemudahan mendapatkan pendanaan investasi dari lembaga-lembaga keuangan Barat yang saat itu tak memiliki pilihan lain tempat investasi dan terbujuk oleh optimisme palsu bahwa Asia dengan jumlah penduduk kelas menengah yang terus bertambah adalah jaminan sukses bagi siapa pun yang investasi di sana.

Dengan runtuhnya ekonomi dan rezim pemerintahan berkuasa, lenyap pula privilege dan proteksi yang mereka nikmati selama ini. Satu per satu macan-macan kertas ini bertumbangan, dengan meninggalkan beban finansial dan moral menggunung pada negara.

Beberapa perusahaan beruntung karena pemerintah terpaksa harus menyelamatkan mereka, karena mereka too big to fail. Namun, beberapa lainnya bisa bertahan atau semakin kuat karena memang mereka berhasil menyiasati kondisi sulit itu menjadi sebuah peluang, antara lain melalui penajaman maupun penciptaan daya saing kompetitif yang baru.

Contohnya, yang dilakukan oleh produsen makanan Garudafood, dengan mengembangkan berbagai varietas produk makanan dari kacang untuk melayani segmen pasar yang berbeda-beda. Di sini terjadi proses pembentukan nilai (value creation) yang membuat perusahaan bisa bersaing dan memperluas pasar.

Contoh lain, apa yang dilakukan oleh produsen Pacekap, produk herbal yang dikembangkan dari pace, bahan yang selama ini nyaris tak pernah dilirik, tetapi kini mendadak populer dan bahkan sudah mulai merambah banyak pasar ekspor dunia. Masih banyak contoh lain perusahaan yang tumbuh atau semakin besar justru setelah krisis.

Budaya perusahaan

Bagaimana dunia usaha sebagai ”binatang ekonomi” yang berorientasi profit dan belum sepenuhnya mampu pulih dari dampak krisis itu bisa memikul tanggung jawab sebagai salah satu agen perubahan di tengah kebangkrutan dan keterpurukan moral, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan bangsa kita?

Bagaimana budaya unggul dan individu-individu unggul bisa lahir dari lingkungan dunia usaha yang sarat konflik perburuhan, manakala aksi demo menuntut pesangon, kenaikan upah atau menentang pemutusan hubungan kerja marak di mana-mana?

Menurut seorang panelis pada diskusi ”Budaya Unggul” di Kompas pekan lalu, sulit mengharapkan sebuah perusahaan mampu mengemban fungsi sebagai agen perubahan atau pencetak pribadi-pribadi kompetitif jika di internal perusahaan itu sendiri bermasalah.

Stephen R Covey dalam 7 Habits of Highly Effective People menekankan, perubahan harus dimulai dari dalam, dalam hal ini internal perusahaan itu sendiri (from inside out). Dus, ini pekerjaan rumah ke dalam bagi dunia usaha itu sendiri.

Menurut seorang panelis, bukan hal mudah untuk membangun bisnis atau keunggulan bersaing di Indonesia. Dari sisi tenaga kerja, misalnya, pasokan tenaga kerja yang ada praktis tidak siap pakai.

Yang menjadi persoalan bukan sulitnya mencari orang berbakat atau pintar di antara 220 juta penduduk Indonesia, tetapi penyakit yang sudah telanjur membudaya berkaitan dengan sikap (attitude) masyarakat kita, terutama sikap tidak disiplin. Bedanya dengan negara lain, seperti Malaysia atau Singapura, di sana sikap tidak menjadi masalah.

Dari aspek budaya, persoalan di Indonesia bukan saja menyangkut masalah kedisiplinan ini saja, tetapi juga lemahnya rasa percaya diri (self-confidence) dan will power (semangat menggelora untuk meraih sukses). Untuk kedisiplinan, masalah utamanya terkait dengan pendidikan. Untuk aspek kepercayaan diri dan will power lebih menyangkut aspek spiritual. Namun, jika ditarik lagi ke belakang, biang keladinya juga sistem pendidikan di Indonesia yang tidak mampu mengasah aspek ini.

Dalam situasi seperti ini, menjadi pekerjaan rumah bagi dunia usaha untuk membangun budaya kompetitif. Untuk menciptakan budaya kompetitif, perusahaan harus menoleransi kesalahan yang dibuat oleh karyawan. Sebab, tanpa kesalahan, sulit terjadi penemuan-penemuan. Mistakes is the mother of invention, istilahnya. Jadi, perusahaan harus mampu menciptakan situasi kerja yang memungkinkan pekerja bisa bekerja sambil belajar.

Selain menoleransi kesalahan, perusahaan juga harus menjamin tingkat kehidupan yang baik bagi karyawan karena tanpa itu sulit bagi karyawan untuk meningkatkan kompetensi dan memberikan kontribusi terbaiknya.

Satu prinsip lainnya, adanya perbedaan dalam hal budaya dan sistem nilai di lingkungan perusahaan, mestinya tidak dianggap sebagai suatu dikotomi, tetapi suatu paradoks yang bisa direkonsiliasikan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan. Kalau tidak, seperti yang kita alami selama ini, kita tak akan pernah berhenti gontok-gontokan karena setiap kali isu dikotomi seperti pribumi dan nonpribumi danJawa-luar Jawa terus muncul dan membuat jarak dan ketegangan.

Model rekonsiliasi itu pula yang kini diterapkan oleh China, negeri yang diramalkan akan menjadi perekonomian terbesar di dunia, menyalip Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, pada tahun 2050. Di negeri Tirai Bambu itu, dunia bisnis didukung habis-habisan oleh pemerintah dan bukannya dimusuhi seperti di sini, dengan catatan dunia bisnisnya juga harus benar.

Fungsi perusahaan sebagai pembentuk nilai (value creator) hanya bisa dicapai jika ada individu-individu yang unggul di perusahaan. Di sinilah pentingnya membangun budaya perusahaan (corporate culture) yang mampu mendorong lahirnya individu-individu kreatif. Ini bukan hal mudah.

Membangun sistem manajemen perusahaan bisa saja mencontek dari yang sudah ada, namun membangun budaya perusahaan membutuhkan waktu panjang, biaya tidak sedikit, dan perlu konsistensi karena sifatnya yang khas. Tanpa adanya budaya perusahaan ini, sulit bagi orang-orang kompetitif untuk berkembang dan sulit bagi perusahaan untuk bersaing. Kesadaran akan pentingnya budaya perusahaan ini yang belum dimiliki oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia. Di sini akan terlihat pula bedanya antara pemilik pabrik dan industrialis.

Seorang industrialis akan memikirkan kelangsungan usahanya dalam jangka panjang dan tidak akan begitu saja menutup usahanya. Seorang industrialis, dalam situasi sedang baik, akan berinvestasi. Pada saat susah, investasi itu akan dicairkan untuk menolong perusahaan keluar dari kesulitan. Investasi ini termasuk untuk pendidikan dan kesejahteraan karyawannya.

”Pada saat kesulitan datang, karyawan yang sehat dan sejahtera lebih mudah diajak bicara sehingga akan lebih mudah pula diciptakan perubahan pada saat kesulitan datang,” ujar panelis tersebut. Dalam kondisi seperti ini, peran dunia usaha sebagai agen perubahan dimungkinkan karena di perusahaan digodok individu-individu unggul. Bukan hanya di lingkungan perusahaan, di luar perusahaan individu-individu unggul ini juga akan menularkan keunggulannya pada keluarganya atau lingkungan di mana dia berada.

Dari pengalaman selama ini, pengusaha-pengusaha yang berhasil biasanya karena menaruh perhatian sangat serius pada pengembangan sumber daya manusia (SDM)-nya.

Sebaliknya, untuk pemilik pabrik, investasi pada SDM dan kesejahteraan karyawan bukan hal penting. Dalam situasi sulit, dia akan dengan mudah memberhentikan karyawan atau menutup usahanya. Pengusaha dan perusahaan seperti ini, sulit diharapkan bisa menjadi motor bagi perubahan menuju suatu budaya atau karakter dunia usaha dan masyarakat yang unggul dan mampu bersaing. (FOKUS Kompas, Sabtu 10 Desember 2005, halaman 38)